Nama : Wima Indah Perdana
NPM : 1C514253
Kelas : 3PA08
1.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN SUMBER DAYA
MANUSIA?
Sumber
daya manusia adalah suatu unsur yang sangat berperan penting dalam keberhasilan
suatu organisasi atau perusahaan dalam mencapai visi atau misinya. Walaupun
suatu organisasi atau perusahaan mempunyai sumber dana yang banyak jika sumber
daya manusianya lemah kekayaan tersebut akan terbuang atau tidak optimal dalam
penggunaannya.
Menurut
Hasibuan (2003: 244) Sumber Daya Manusia adalah kemampuan terpadu dari daya
pikir dan daya fisik yang dimiliki individu. Pelaku dan sifatnya dilakukan oleh
keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh
keinginan untuk memenuhi kepuasannya.
Menurut Veithzal Rivai (2003: 6),
Sumber Daya Manusia adalah seorang yang siap, mau dan mampu memberi sumbangan
usaha pencapaian tujuan organisasi. Selain itu, sumber daya manusia merupakan
salah satu unsur masukan (input) yang
bersama unsur lainnya seperti modal, bahan, mesin dan metode/teknologi diubah
menjadi proses manajemen menjadi keluaran (output)
berupa barang atau jasa dalam usaha mencapai tujuan perusahaan.
2.
APA ITU ORGANISASI?
Organisasi dapat kita pandang sebagai
suatu sistem yang terbuka, yaitu: “suatu kesatuan keseluruhan yang
terorganisasi, yang terdiri dari dua atau lebih bagian, komponen atau
subsistem, yang saling tergantung, yang dipisahkan dari suprasistem sebagai
lingkungannya oleh batas-batas yang dapat ditemukenali” (Kast & Rosenzweig,
1974). Namun dalam banyak keadaan kita dapat mempelajari organisasi sebagai
satu sistem sosial saja, sebagaimana juga dilakukan oleh Berrien (dalam
Dunnette, 1976).
Dalam interaksi organisasi (sebagai
sistem terbuka) dengan lingkungannya organisasi menghadapi berbagai persoalan,
terutama jika lingkungannya merupakan lingkungan yang tidak stabil, berkembang
terus. Terhadap lingkungan yang berubah-ubah ini organisasi perlu menyesuaikan
diri dengan menjawab/mengatasi masalah-masalahnya. Disamping itu, pada saat
yang sama organisasi juga menghadapi masalah-masalah internal, yang
mengharuskan organisasi mengatasinya sehingga tetap terjadi satu keterpaduan
dalam berfungsinya organisasi.
Mengatasi masalah-masalah eksternal dan
internal tersebut organisasi perlu memiliki kemampuan untuk itu, bila ingin
tetap mempertahankan diri, bahkan jika ingin terus tumbuh. Dalam kondisi
seperti itu organisasi perlu melaksanakan pengembangan organisasi (organization development).
Sejak berdirinya organisasi, secara
sadar atau tidak,pendiri meletakkan dasar bagi budaya organisasi yang
didirikan. Pertumbuhan organisasi, sebagai hasil interaksi organisasi dengan
lingkungannya, juga dalam mengusahakan pengembangan organisasinya, secara sadar
nilai-nilai pokok tertentu perlu mengalami perubahan. Budaya organisasi perlu
juga menyesuaikan diri terhadap pertumbuhan organisasi.
Menurut Tossi, Rizzo, dan Carroll (1994:
34), organisasi ialah “... a group of
people, working toward objectives, which develops and maintains relatively
stable and predictable behavior patterns, even though the individuals in the
organization may change. Usually we describe organizations in terms of how they
differ on three dimensions: complexity, formalization, and centralization.”
Organisasi terdiri dari kelompok
orang-orang, atau dapat dikatakan juga terdiri dari kelompok-kelompok tenaga
kerja (dalam hal organisasi perusahaan) yang bekerja untuk mencapai tujuan
organisasinya. Untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dikembangkan dan
dipertahankan pola-pola perilaku tertentu yang cukup stabil dan dapat
diperkirakan sebelumnya. Pengembangan dan pertahanan pola-pola perilaku
tersebut, untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, akan tetap berlangsung, meskipun
orang-orangnya berganti. Dengan kata lain organisasi tetap ada, meskipun
orang-orang atau anggota-anggota organisasi berubah-ubah. Tiga dimensi dari
organisasi ialah: kemajemukan, formalisasi, dan pemusatan.
3.
KEPEMIMPINAN YANG BAIK DALAM ORGANISASI
Melalui
penelitian ditemukan adanya beberapa kelompok perilaku pemimpin yang dalam
kombinasinya mengarah ke kepemimpinan yang berhasil. Dalam kombinasi yang lain
kelompok perilaku pemimpin justru mengarah ke kepemimpinan yang kurang efektif.
Ditemukanlah berbagai gaya kepemimpinan atau gaya manajemen, dimana diduga
semula bahwa ada satu gaya manajemen yang paling efektif (kelompok dari Ohio
State University, 1956; Blake & Mouton, 1964). Terbukti bahwa tidak ada satu pun gaya
manajemen yang efektif untuk setiap situasi kepemimpinan/manajemen. Setiap
situasi menuntut adanya gaya kepemimpinan tertentu. Timbul teori contingency dari Fiedler (1967), teori
tiga dimensi dari Reddin (1970), dan teori dari Hersey dan Blanchard (1977). Vroom
dan Yetton (1973) dan Vroom dan Jago (1988) mendekati masalah kepemimpinan dari
proses pengambilan keputusan. Corak masalah yang dihadapi manajer menentukan
gaya manajemennya dalam mengatasi masalah dan pengambilan keputusan.
·
Teori
“Contingency”
Model
contingency dari kepemimpinan yang
efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967). Menurut model ini, maka the performance of the group is contingent
upon both the motivational system of the leader and the degree to which the
leader has control and influence in a particular situation, the situational
favorableness (Fiedler, 1974:73). Dengan perkataan lain, tinggi-rendahnya
prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan
sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.
Untuk
menilai sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala yang
terdiri dari 16 butir skala bipolar. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak
psikologis yang dirasakan oleh pemimpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja
yang paling tidak disenangi” (Least
Preferred Cowoker = LPC). Skor LPC yang tinggi menunjukan bahwa pemimpin
melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana yang
menyenangkan. Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini
berorientasi ke hubungan (relationship
oriented), suatu konsep yang mempunyai persamaan dengan konsep Penenggangan
(Consideration). Sebaliknya skor LPC
yang rendah menunjukan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka dengan
mana ia tidak dapat bekerja sama. Pemimpin demikian lebih berorientasi ke
terlaksananya tugas (task oriented),
yang mirip pengertiannya dengan Memprakarsai Struktur (Initiating Structure).
· Teori Tiga Dimensi
Reddin
(1970) mengembangkan teori tiga dimensinya dengan menambahkan dimensi ketiga
pada dimensi dari Orientasi-Tugas (OT) dan dimensi Orientasi-Hubungan (OH).
Dimensi ketiga merupakan dimensi efektivitas. Dengan menggunakan OH sebagai
sumbu tegak dan OT sebagai sumbu mendatar ia menemukenali empat gaya dasar dari
perilaku manajerial, yaitu:
1. Separated:
Perilaku OT dan OH digunakan sedikit sekali.
2. Related:
Perilaku OH yang terutama digunakan.
3. Integrated:
Perilaku OH dan OT banyak digunakan.
4. Dedicated:
Perilaku OT yang terutama digunakan.
Keempat
gaya dasar dari perilaku manajerial tersebut masing-masing dapat efektif dalam
situasi tertentu, dapat tidak efektif dalam situasi lain.
Tidak
ada gaya manajerial yang ideal. Gaya-gaya manajerial tersebut paling tepat
dinilai dalam hubungannya dengan situasi-situasi tertentu. Setiap gaya
manajerial sesuai untuk satu situasi tertentu dan tidak sesuai untuk banyak
situasi lainnya. Seorang manajer harus mencocokan gaya dasarnya dengan
kebutuhan atau tuntutan dari situasi. Gaya dasar related misalnya, jika digunakan dalam situasi yang sesuai
dinamakan gaya developer. Sedangkan
jika gaya dasar tersebut digunakan dalam situasi yang tidak sesuai, maka
gayanya diberi nama gaya Missionary.
· Teori Kepemimpinan Situasional
Teori
kepemimpinan situasional, yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (1982),
yang merupakan pengolahan dari model efektivitas pemimpin yang tiga dimensi,
didasarkan atas hubungan kurvalinear antara perilaku tugas dengan perilaku
hubungan dan kedewasaan. Teori ini berusaha untuk memberikan pemahaman kepada
pemimpin tentang kaitan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat
kedewasaan dari para pengikutnya. Hersey dan Blanchard berpendapat bahwa
bawahan merupakan faktor yang sangat penting dalam situasi kepemimpinan.
Dimulai dengan perilaku tugas yang
berstruktur, yang sesuai dalam bekerja dengan bawahan yang belum dewasa, teori
ini menyarankan bahwa perilaku pemimpin harus bergerak melalui (1) tugas
tinggi-hubungan rendah (dinamakan gaya telling)
ke (2) tugas tinggi-hubungan tinggi (gaya selling)
ke (3) tugas rendah-hubungan tinggi (gaya participating), dan akhirnya ke (4) tugas rendah-hubungan
rendah (gaya delegating), jika kita
mengikuti perkembangan bawahan dari tidak dewasa sampai ke dewasa.
Daftar
Pustaka:
Lutfy,
R.M. (2015). “Pengaruh Pelatihan ISO 9001:2008 Terhadap Peningkatan
Produktivitas Kerja Karyawan pada PT Spectra Samudra Line Jakarta”. Skripsi. FE, Manajemen, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonnomi Ahmad Dahlan Jakarta.
Munandar,
A.S. (2001). Psikologi Industri dan
Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).